Warga Syiah Sampang akan dipindahkan

“Kita harus segera mencarikan jalan keluar, dicarikan tempat yang setidak-tidaknya seperti hunian sementara, semi permanen", kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sampang, Rudi Setiadhi.

Menurut Rudi, lokasi pengungsian warga Syiah saat ini di gedung olah raga (GOR) Sampang, Madura, tidak manusiawi dan tidak sehat.

Seperti diketahui, warga Islam Syiah diusir dari kampungnya di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, pada 26 Agustus lalu, setelah sebagian besar rumah mereka dibakar dan dirusak oleh sekelompok orang.

Sejak saat itulah, sebanyak 165 orang warga Syiah tinggal di dalam GOR tersebut dengan status sebagai pengungsi.

Keinginan mereka untuk kembali ke kampung halamannya, selalu ditolak Pemda dan otoritas keamanan Kota Sampang, karena alasan keamanan.

Lebih lanjut Rudi Setiadhi mengatakan, konsep pemindahan sementara warga Syiah ini juga berdasarkan masukan dari masyarakat, termasuk dari organisasi Ahlul Bait Indonesia, ABI, organisasi yang menaungi komunitas Syiah di Indonesia.

"Dia memberi konsep (berupa) hunian sementara, yang berbentuk cluster, sehingga (mereka) tetap bisa berkumpul dalam komunitas (yang sama seperti) dalam GOR," paparnya.

Konsep ini sudah diberitahukan kepada pemerintah pusat, walaupun menurut Rudi, pembicaraan ini belum sampai pada tahap waktu dan lokasi persisnya.

"Wong duduk bersama saja belum. Cuma ini merupakan konsep yang sudah saya sampaikan (kepada warga Syiah di Sampang)," tandasnya.

Dia mengaku konsep ini sekarang tengah dirundingkan dengan para pengungsi Syiah dan para ulama di Sampang.

Cabut fatwa MUI Sampang

Sementara itu, tokoh Islam Syiah di Sampang, yang kini berstatus sebagai pengungsi, Iklil Milal mengatakan, usulan pemindahan sementara ke lokasi baru, bukanlah prioritas utama yang mereka inginkan.

"Tapi bagaimana kami ini dianggap sebagai bagian warga Sampang, yang berhak hidup layak," kata Iklil Milal, saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon genggamnya, Rabu (16/01) sore.

"Walaupun kami dipindahkan ke tempat lain yang disebut manusiawi itu, menurut saya yang lebih manusiawi, adalah masalah keselamatan kami. Karena memang dengan adanya fatwa (MUI Sampang) sesat itu, kami akan terancam di manapun."

Iklil Milal, tokoh Islam Syiah di Sampang, Madura.

"Masalahnya bukan (pada) masalah rumah, tapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang yang menyatakan ajaran Syiah itu sesat," kata Iklil.

Sebelum sekelompok orang menyerbu dan membakar sebagian rumah milik warga Syiah di Sampang, MUI Sampang telah mengeluarkan fatwa yang isinya menyatakan ajaran Syiah masuk kategori sesat.

Berbagai kalangan, termasuk pegiat HAM, menuduh fatwa ulama inilah yang menyebabkan aksi kekerasan terhadap warga Syiah, yang menyebabkan satu orang meninggal dunia, Agustus 2012 lalu.

Menurut Iklil, pencabutan fatwa MUI Sampang sangat penting demi keselamatan warga Syiah di kota itu. "Apakah mereka siap untuk mencabut fatwa sesat itu, karena itu yang jadi jaminan keamanan kami di manapun," katanya.

"Walaupun kami dipindahkan ke tempat lain yang disebut manusiawi itu, menurut saya yang lebih manusiawi, adalah masalah keselamatan kami," tandas Iklil.

"Karena memang dengan adanya fatwa (MUI Sampang) sesat itu, kami akan terancam di manapun," katanya, dengan nada bergetar.

Kalau fatwa MUI Sampang itu dicabut, menurut Iklil, mereka tidak memasalahkan jika ditempatkan sementara ke lokasi lain yang dianggap lebih manusiawi, sebelum akhirnya kelak dibolehkan kembali ke kampung halamannya.

"Tapi bagi kami, masalahnya pada fatwa sesat itu. Karena, dimana pun kami berada, suatu saat nanti, pasti ada lagi (aksi penyerangan), karena kami dianggap orang-orang bermasalah," tegas Iklil.

Warga Syiah Sampang sejak awal ingin kembali ke kampung halamannya, tetapi ditolak oleh pemerintah dan otoritas keamanan Kota Sampang, karena alasan keamanan.

Pemerintah Daerah Jawa Timur sebelumnya telah mempertimbangkan untuk memindahkan warga Syiah Sampang ke sebuah wilayah di Kota Sidoarjo, Jawa Timur.

Usulan ini kemudian menguap begitu saja, setelah ditolak pemerintah pusat dan tokoh-tokoh masyarakat.[]

sumber : BBC Indonesia

Kirim komentar