Apakah Imam Mahdi Hidup di Jaziratul Khadhra’?

Sumber utama pertanyaan dan pernyataan seputar tempat kehidupan Imam Mahdi as seperti ini serta hubungannya dengan Jaziratul Khadhra’ dan Segitiga Bermuda adalah sebuah kisah yang dinukil oleh Allamah Majlisi dalam kita Bihar Al-Anwar. Pada kesempatan ini, kami akan menukil ringkasan kisah tersebut, dan selanjutnya dalam sebuah telaah kritis, kami akan menjawan pertanyaan yang telah dilontarkan di atas.

Dalam kitab Bihar Al-Anwar, Allamah Majlisi bertutur berikut ini:

Saya pernah menemukan sebuah risalah masyhur berkenaan dengan Jaziratul Kahdhra’. Karena saya tidak pernah menemukan risalah ini dalam buku-buku hadis, maka saya menyebutkannya dalam kitab ini secara terpisah. Berdasarkan kisah ini, seseorang yang bernama Zainuddin Ali bin Fadhil Mazandarani bercerita berikut ini:

Saya pernah belajar kepada Syekh Abdurrahim Khunfi dan Syekh Zainuddin Ali Maghribi Andalusi di Damaskus. Pada suatu hari, syekh yang berasal dari Maroko itu mengambil keputusan untuk berkunjung ke Mesir. Saya dan beberapa orang murid menyertainya, dan tibalah kami di Kairo. Syekh mengajar di Universitas Al-Azhar untuk beberapa waktu.

Setelah beberapa masa berlalu, datang sebuah surat dari Andalusia yang memberitakan bahwa ayah syekh sedang sakit. Syekh pun kembali ke Andalusia dan saya beserta beberapa orang murid menyertainya. Di sebuah daerah Andalusia, saya terjangkit penyakit. Syekh menyerahkan saya kepada khatib daerah tersebut dan syekh melanjutkan perjalanan. Saya sakit selama tiga hari. Setelah tiga hari berlalu, pada suatu hari, saya berjalan-jalan di sekitar daerah itu. Sebuah rombongan dagang tiba dari pegunungan di daerah pantai dengan membawa barang dagangan seperti pakaian berbulu, minyak goreng, dan lain sebagainya.

Saya bertanya kepada rombongan itu, “Dari mana kalian datang?”
Mereka menjawab, “Dari daerah Barbar yang terletak di dekat kepulauan kaum Rafidhi (Syiah).”
Begitu mendengar ucapan Rafidhi, saya ingin sekali menemui kaum ini. Untuk mencapai tempat kediaman mereka diperlukan waktu dua puluh satu hari perjalanan; dua hari di daerah tandus dan selebihnya di daerah makmur.

Saya pun berangkat dan tiba di sebuah negeri yang sangat makmur. Di negeri ini terdapat sebuah pulau yang dikelilingi oleh tembok tinggi dan dikibari bendera-bendera kokoh yang berkibar ke arah pantai. Penduduk yang hidup di pulau ini adalah Syiah. Azan dan salat mereka adalah azan dan salat Syiah. Di pulau ini, saya memperoleh penghormatan dan jamuan yang layak. Saya bertanya, “Dari manakah kebutuhan pangan kalian bisa terjamin?” Mereka menjawab, “Dari Jaziratul Khahdra’ yang terletak di Laut Putih; pulau-pulau tempat keturunan Imam Mahdi hidup. Dalam setahun, mereka membawakan pangan untuk kami sebanyak dua kali.”

Saya menunggu di pulau itu sehingga sebuah rombongan perahu tiba dari Jaziratul Khadhra’. Komandan rombongan ini adalah seorang tua yang mengenalku dan juga mengenal namaku serta ayahku.

Akhirnya, komandan ini membawaku ke Jaziratul Khadhra’. Enam belas hari berlalu. Air putih mengelilingi perahu. Saya menanyakan faktornya. Komandan itu menjawab, “Ini adalah Laut Putih dan itu adalah Jaziratul Kadhra’. Air putih ini mengelilingi seluruh pulau ini. Jika ada perahu musuh kami yang masuk, maka perahu ini pasti tenggelam.”

Kami pun memasuki pulau. Kota di pulau itu memiliki banyak benteng dan tower, serta tujuh tembok yang mengelilingi. (Bihar Al-Anwar, jld. 52, hlm. 159; Itsbat Al-Hudah, jld. 7, hlm. 371)

Berkenaan dengan kisah ini, banyak pandangan yang pernah diutarakan:

1. Sedikit kelompok meyakini bahwa kisah ini adalah sebuah kisah nyata.
2. Sebagian orang yang menerima kebenaran ini menghubungkannya dengan mitos Segitiga Bermuda.
3. Banyak ulama dan ahli ternama seperti Aqabozorg Tehrani, Allamah Syusytari, Allamah Ja’far Murtadha Amili, Syekh Ja’far Kasyiful Githa’, dan lain sebagainya berkeyakinan bahwa kisah Jaziratul Khadhra’ adalah sebuah kisah fiktif. Menurut mereka, banyak kritik yang menuai kisah ini, baik dari sisi sanad, historis, maupun kandungan. (Mosavinasab, Nainawa wa Intizhar, hlm. 26; Sayid Ja’far Murtadha Amili, Jaziratul Kahdhra’ dalam Timbangan, hlm. 201-229)

1. Sanad dan Sumber Kisah

1.1. Sumber
Kisah ini untuk pertama kali dinukil dalam kitab Majalis Al-Mu'minin karya Qadhi Nurullah Syusytari (wafat 1019 H), lalu dinukil oleh kitab Bihar Al-Anwar. Penulis Bihar Al-Anwar sendiri mengaku bahwa ia tidak pernah melihat kisah ini dalam buku-buku yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kisah ini ia nukil dari sebuah kita tulisan tangan yang tidak dikenal. Dengan demikian, kisah ini tidak memiliki sumber yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

1.2. Perawi Kisah
Perawi dan pemeran utama kisah tidak lebih dari satu orang; yaitu Ali bin Fadhil Mazandarani. Buku-buku Rijal dan para ulama yang hidup semasa dengannya tidak pernah menyebutkan namanya dan tidak pula mengakuinya. Dengan ini, kita tidak bisa mempercayai kebenaran perawi kisah tersebut.

2. Teks dan Kandungan Kisah

1.2. Kontradiksi Kandungan
Dalam kandungan kisah terdapat beberapa kontradiksi. Di sebagian kisah disebutkan bahwa Sayid Syamsuddin berkata kepada perawi kisah, "Saya adalah wakil khusus Imam Zaman as. Tetapi, hingga sekarang saya belum pernah berjumpa dengan beliau. Ayahku juga belum pernah berjumpa dengan beliau. Tetapi, ia pernah mendengar ucapan beliau. Sekalipun demikian, kakekku pernah berjumpa dengan Imam Zaman dan juga pernah mendengar ucapan beliau."

Di bagian lain kisah, Sayyid Syamsuddin berkata, "Saya setiap pagi hari Jumat mendaki gunung itu untuk menziarahi Imam Zaman. Alangkah baiknya bila engkau juga ikut serta."
Syekh Muhammad perawi kisah juga berkata, "Hanya Sayyid Syamsuddinlah dan orang-orang seperti dia yang bisa berjumpa dengan Imam Zaman."

2.2. Hukum dan Akidah Tidak Dijelaskan dengan Benar
Dalam kisah ini terdapat dua poin yang menyeleweng:
a. Distorsi Al-Quran. Berdasarkan keyakinan Ahli Sunah dan Syiah, Al-Quran terjaga dari distorsi. Tentu, klaim ini tidak bisa diterima.
b. Boleh tidaknya membayar khumus. Menurut keyakinan para faqih, keyakinan seperti ini tidak bisa diterima.

2.3. Penentuan Tempat Tinggal Imam Zaman
Kisah ini bertentangan dengan banyak hadis yang menyembunyikan tempat tinggal Imam Zaman as di kota-kota dan bahkan pegunungan. Klaim tersebut di atas juga bertentangan dengan rahasia dan hikmah ghaibah. Menyembunyikan tempat tinggal Imam Mahdi as bertujuan untuk mencegah kemungkinan bahaya yang diciptakan oleh musuh. Jika tempat tinggal beliau diketahui secara detail, tentu hal ini akan membahayakan keselamatan beliau.

Sumber :Sabestan

Kirim komentar